Sudah lama aku pendam gulana dihati ini dan terlalu sakit aku sangga perasaan ini, sebuah catatan peristiwa memilukan dan sekaligus memalukan di "rumah" besar ini. Entah harus aku mulai dari mana menjabarkan kegelisahan ini, karena terlalu rumit di uraikan dan terlalu sakit disembuhkan.
Bu Ririn dan anak didiknya |
Berawal dari kepetingan pribadi dan
memperkaya diri sendiri aku mengawali tulisan ini, ya... Memperkaya diri
sendiri, karena bila di telisik dari sudut manapun, semua kisah ini bermuara
dan berakhir pada harta, tak memperdulikan tujuan mulia kita yakni menjabarkan
ilmu dan mencerdaskan anak didik kita, namun aku sadar ini adalah sebuah proses
pembentukan kararter manusia sesungguhnya, yang pada akhirnya kita akan tahu
bagaimana dan untuk apa sebenarnya pengabdian ini, tulus ataukan karena fulus.
Aku punya seorang sahabat, ia wanita muda
dengan segudang talenta, kecerdasannya tak kuragukan, dedikasi dan
pengabdiannya juga ta mengecewakan, ia begitu jujur dan berjiwa sosial yang
tinggi, sehingga tak jarang uang pribadi ia korbankan demi keberlangsungan
pengaturan keuangan. Ia dua tahun lebih lama pengabdiannya dibandingkan aku,
meski secara umur aku jauh diatas dirinya, namun secara keilmuan dan
pengabdian, aku jauh dibawahnya.
Mungkin karena kejujuran dan dedikasinya
itulah, orang-orang yang berperangai buruk dan tidak tulus mengabdi merasa
terusik hingga akhirnya menggunakan cara-cara tak Hormat untuk
menyingkirkannya, karena dianggap dapat mengganggu suksesi kepemimpinannya, dan
dapat menggagalkan akal bulusnya.
Hingga pada akhirnya peristiwa menyakitkan
itu terjadi, hanya dengan selembar kertas berwarna hijau dengan kombinasi
tulisan warna hitam, datanglah sebuah surat berisi ucapan terima kasih atas
semua pengabdian, meski tak tersurat sebuah kalimat pemberhentian namun sangat
jelas terlihat sebuah pemecatan dengan halus. Surat itu sangat sederhana bahkan
amat sangat tak berharga bagi sebuah lembaga besar seperti RUmah ini, tanpa
amplop juga plastik map, hanya tergeletak begitu saja di bawah pintu rumah tua
dan sederhana itu.
Seketika itu juga runtuhlah hatinya,
keyakinannya bahkan semangatnya, orang-orang yang selama ini dianggap sahabat
dalam berjuang tanpa dinyana tega menyingkirkannya dalam sekejap. Temanku itu
hanya bisa diam termangu tanpa kata, air matanya terus meleleh tanpa henti
membayangkan apakah ini benar-benar terjadi, ataukah sebuah mimpi buruk.
Lama ia tertegun dan akhirnya ia
betul-betul sadar jika ini semua adalah kenyataan hidup, ia menjerit dan
meronta setiap saat, tiada yang sanggup menenangkan hatinya, bahkan aku
sekalipun.
Terlalu singkat dan cepat peristiwa itu
terjadi, hingga ia tidak diberi kesempatan untuk bertanya kepada bapak pengurus
Yayasan yang katanya terhormat itu, apakah salahku dan dimanakah letak
pengkhianatanku. Dia juga tak diberi kesempatan untuk sekedar berkata-kata
perpisahan dengan anak didik yang selama ini ia besarkan dengan kasih dan
cinta.
Aku yang bukan saudaranya, aku yang bukan
kekasihnya namun aku hanyalah seorang sahabat yang merasakan dengan sebenarnya,
rasa sakit yang kini hinggap di hatinya. Sosoknya yang murah senyum dan berhati
mulia, kini berganti sosok wanita muram dan sesekali hati berkecamuk dendam....
Salah siapakah ini, saya yakin kalian
faham, merekalah yang selalu mengutamakan materi dan kepemimpinan adalah pihak
yang paling bertanggung jawab atas peristiwa memilukan ini.
Sebab bukan hanya seorang wanita yang
dibuat merana dan tersakiti hatinya namun empat orang wanita sekaligus, bahkan
seorang diantara mereka ada seorang wanita sepuh
Yang dulunya adalah guru mereka sendiri.
Huft, sekarang hati nurani sudah
tergantikan kemilau materi. Semoga aku, dia dan mereka yang teraniaya, bisa
tabah dan sabar menghadapi semua ini dan mendapatkan ganti yang lebih dan
teramat lebih dari Allah Subhanahu Wata'ala. Amien
Tulisan ini aku dedikasikan untuk sahabatku
Ibu Ririen Tri Astuti, Guruku Hj. Sundari, Guruku Ibu Choirijah dan sabahat
baruku Ibu Niluh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar