Entah berapa purnama telah aku lewati dengan percuma,
melewatkan udara yang berhembus melewati urat nadi ini dengan sia sia, hidupku
tetap seperti kibasan sapu lidi untuk menghalau sampah-sampah yyang berserakan,
jenuh dan lenguh penuh kelelahan, hidupku seperti hanya sebagai budak waktu,
hanya mengikuti alur tanpa bergerak bebas menari dan bernyanyi, ekpresi hati
yang lepas dan tuntas.
Meski sorot mata orang penuh hormat dan ta’dzim, namun
sejatinya bisik kata hati ini menangis pilu penuh kesakitan, sampai kapan aku
akan menutupi sakit kebohongan ini, munafik dan penipu. Kepalsuan sepertinya
sudah menjadi jubah kebesaran ini, percuma dan sia-sia aku bertekuk lutut
setiap waktu, namun hati ini masih di rong-rong kebusukan sampah ruhani, titah
perintah dan uraian makna kehidupan telah aku telan hingga mulutku serasa
tersumpal, namun saying tak kutelan dan amalkan, namun hanya pemanis bibir yang
sambil lalu trus aku muntahkan perlahan.
Kaki sombong ini masih saja berjalan dengan tegap menantang
langit, padahal seharusnya duduk bersila merapalkan do’a doa penentram jiwa,
harusnya tangan kokoh namun hampa ini menggapit kitab suci bukan permainan
sesat dan sesaat buah kecanggihan teknologi. Mata dengan binary sok suci ini
seharusnya sering terpejam dan santun memohon ampunNya, namun malah bersinar
dengan congkak dan menuntun kebusukan..
Kenapa dan kenapa
Sampai kapan dan hingga kapan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar