Namun, semua cerita itu musti berlalu dan harus aku akhiri, karena tak mungkin aku selamanya menerima belaian cintanya tapi aku balas dengan kebohongan dan kebusukan, meski terasa sakit dan terasa amat berat sangat, aku harus tegar dan tegas mengatakan yang sebenarnya. Meski pada akhirnya air mata cengeng ini, akan meleleh tanpa henti meratapi sakit yang tiada terkira. Akhirnya harus, dan harus aku tegarkan jiwa ini untuk menerima kenyataan, bahwa aku kalah oleh kenyataan, aku tertindas oleh kesalahan.
Ada sebuah perkataan ringan dari sahabat karibku, dia berkata “Sekarang sederhana saja, coba hitung berapa lama kasih sayang yang telah Ibu berikan kepadamu, bandingkan dengan kasing sayang yang telah diberikan kekasihmu padamu, udah gitu aja aku ga’ mau terlalu panjang menasehati” Ujarnya singkat. Duh Gusti… tertegun aku dengan perkataan sobatku itu, sekian lamanya aku termenung dan merenung dalam-dalam, rupanya aku tersibak oleh ke-egoisanku sendiri.
Huff… napas panjangku kembali berhembus, sembari kupandangi senja yang makin meredup diufuk barat, aku pejamkan mataku dalam-dalam, memoriku menerawang jauh kala kecilku bersama ibu, sesekali aku tersenyum simpul mengingat keluguan beliau dan terkadang aku menghela nafas kala mengingat kegigihan beliau berdiri berjam-jam untuk melayani pembeli demi sesuap nasi putranya, ya putranya….. Masya Allah apa yang telah aku perbuat!!! Dan sekarang aku harus bangkit dan berkata, ini semua harus berakhir.
Guman sepi, 05 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar