****
Meski dewasa ini Masalah Virginitas (keperawanan :Red) tidak lagi menjadi titik point yang layak untuk perdebatkan, namun masalah keperawanan kerap kali menjadi masalah besar yang dapat mempengaruhi hubungan suami istri, karena masalah itulah komunikasi sebuah keluarga dapat terganggu dan hilanglah keharmonisan yang telah terbina, sering kali pertengkaran-pertengkaran kecil bermula dari masalah ini, dan akhirnya timbulah masalah besar seperti status janin yang dikandung istrinya dan masalah maraknya kasus perceraian dini. Berkaca dari penggalan kisah nyata diatas, menegaskan bahwa komunikasi dengan dilandasi kejujuran sangat perlu dilakukan, agar kedua belah pihak dapat menerima kondisi yang sebenarnya dan dapat membina rumah tangga tanpa ada rasa bersalah atas tinta hitam yang pernah menghiasi lembaran kehidupan. Namun sayang kejujuran pranikah tersebut, terkadang disalah artikan oleh beberapa pihak sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, benarkah asumsi tersebut?
Tulisan berikut mencoba memberikan sedikit sumbangsih pemikiran, agar wacana diskriminatif dapat dipahami secara dewasa dan penuh logika.
Keperawanan ibarat mahkota indah yang tak akan pernah tertandingi nilainya, sehingga kala seorang wanita kehilangan mahkota indahnya, maka hilanglah harga dirinya, karena mahkota yang selama ini menjadi kehormatan bagi dirinya ternyata telah lenyap, selain itu keperawanan merupakan amanah dan tanggung jawab dasar yang harus dilaksanakan seorang wanita. Pada fase inilah masalah keperawanan menjadi bukti awal akan komitmen menempuh hidup baru, dengan asumsi sebagai berikut. Ketika ia belum diberi tanggungjawab agung, berupa tugas mulia bernama Istri, belum disematkan dipundaknya saja, ia telah berani melakukan hal-hal diluar wewenangnya, satu diantaranya adalah pergaulan bebas, maka bisa dibayangkan tatkala ia memasuki lembaran baru yang bernama pernikahan, maka dikhawatirkan pernikahannya akan berhenti ditengah jalan karena peristiwa serupa akan terulang kembali, bahkan mungkin lebih parah lagi.
Selanjutnya, apabila ada pihak yang menganggap bahwa kejujuran pranikah menjadi alat diskriminatif terhadap kaum hawa, itu merupakan anggapan sepihak, karena justru dengan kejujuran semacam itulah, seorang wanita akan lebih diakui kehormatannya. Lantas bagaimana dengan wanita yang telah terenggut kegadisannya ? Sebagai bentuk konsekuensi atas kesalahan fatal yang pernah dilakukan oleh seorang wanita, sudah semestinya ia harus menerima keadaan dari dosa yang pernah ia perbuat, meski terasa pedih namun kejujuran ini akan menjadi momentum paling dasar untuk menemukan pendamping hidup yang benar-benar siap dan menerima apaadanya. Pertanyaan lain yang akan mengemuka ada kasus ini adalah, mengapa hanya kaum hawa yang harus berkata jujur tentang kondisinya ? Menurut asumsi saya, siapapun berhak sekaligus wajib untuk berkata jujur. Begitu juga bagi wanita, ia berhak bertanya kondisi calon suaminya, sampai yang masalah yang paling Privasi sekalipun yakni status keperjakaannya.
Pernikahan merupakan momen sakral dalam hidup kita, karena begitu mulia dan agungnya nilai pernikahan maka tentunya kita tidak mau, momen yang kita sakralkan ini dipenuhi dengan kebohongan, tentunya kita juga berharap agar pernikahan merupakan momen yang diisi dengan rasa cinta yang tulus tanpa tabir kepalsuan yang akan membayangi dan menghantui setiap langkah kita. Kita bisa bayangkan apa jadinya jika momen tersebut ternyata dipenuhi kebohongan, pastilah rasa sesal yang tiada terkira.
Semoga kita senantias terjaga dari bujuk rayu syaithon yang benar-benar terkutuk, Agar dimasa mendatang kita dan keluarga dapat menjalani kehidupan yang sakinah wa rahmah.
Muhamad Arif Noer
Abiturient ‘07
Bukan sekedar mengkritisi, namun urun rembug terhadap perkembangan dimensi
BalasHapus