Hantaman caci maki dan hempasan hinaan seakan datang
bertubi-tubi menghampiriku, tak ada kesempatan untuk bernafas bahagia sekejap
pun, semua seakan tertawa bahagia diatas rintihanku, penderitaanku ibarat opera
komedi yang memancing tawa mereka, padahal pedih dan perih menyayat luka ini.
Senyum simpulku hanyalah pemanis dibibirku, tapi sejatinya
aku meronta berteriak hampa, jiwa yang gersang ini seakan tak ada yang peduli,
dibiarkan menua dan terus menerus menua. Jangankan manja manis seorang kekasih
halal, pujian dan sanjungan wanita Kekasih gelappun aku tak punya, benar2
serasa sepi hidupku ini, hanya berisi tari-tarian hampa dan nyanyian-nyanyian
sunyi. Entah sampai kapan aku kelak akan sanggup bertahan hidup sebatang kara seperti
ini. Berat nian untuk sekedar mendapatkan kata restu dari sang Bunda, terlalu
banyak syarat yang d sodorkan, kekayaan, keturunan, keahlian dan kepribadian,
apakah ini siksaan atau justru alat meningkatkan tingkat derajat kemuliaan.
sakit sekali |
Selain kisah asmara yang kandas, banyak hal yang menjadi
pelengkap atas siksaku selama ini. Sobat dan kawan dekat yang selama ini Aku
percaya malah menusukku dari belakang, kepercayaanku yang meninggi langsung
seakan kandas. Beberapa barang yang diamanahkan kepada ku seakan musnah ta
berbekas, sakit nian hingga tak sempat aku mengeluh, tega benar... Anehnya
dengan tanpa bersalah ia justru berlenggang dengan kekasihnya, yang aku anggap
adik itu, kembali senyum kemenangan menyeruak disela-sela permainan online itu.
Setelah asmara dan pengkhianatan yang terjadi, selanjutnya
kisah kesakitanku adalah materi... Tabunganku terkuras habis dan musnah
ditengah hingar bingar pesta pora yang konon tak tertandingi seantero kampung,
dan tabunganku juga terpinjamkan kepada sanak famili yang kebetulan dalam
kondisi pailit, namun kenapa harus aku yang dikorbankan...???
Kenapa, padahal yang mendapat sanjungan dan penghormatan
kata mulia adalah justru sang bunda dan kakanda, dengan mengabaikan rasaku...
Apakah kurang pengabdianku, apakah kurang ta'dzimku...
Entah ini sebuah perih yang tak terkira ataukah justru
sebuah tangisan yang membanjiri hari-hariku, jeritan tanpa suara dan Tangisan
tanpan airmata seakan menjadi makian wajib yang aku susuri jalannya setiap
hari, senyuman terpaksa dan tunduk hurmat tersiksa selalu menari dalam
kesedihanku.
Entah kenapa tak ada yang peduli dengan perih ini, kenapa
tidak ada yang menyadari rasa sakit ini, apakah karena dianggap sebagai budak
tak berguna sehingga sekedar berbahagiapun aku ta diberi kesempatan, sakit
nian.
Kesendiran menyusuri lorong kehidupan kejam ini terus aku
jalani sendiri tanpa henti, tercabik meronta dan mengemis memohon bahagia...
Kemana lagi aku akan mengusir derita ini, gemilang dan
gelimang derajat, ternyata hanya simbol aniaya siksa mereka padaku semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar