SELAMAT DATANG

Assalamu'alaikum Warahmatullohi Wabarakatuh

Selamat datang para pengelana dunia maya.
Selamat datang diduniaku, dunia sederhana yang dipenuhi dengan kebebasan dalam berekspresi,
namun tetap mengedepankan Ahlaqul karimah,
tanpa takut oleh tekanan dari manapun, dan jauh dari diskrimininasi budaya, hukum, martabat, derajat dan pangkat.

Ini adalah suara murni hatiku,
yang terangkai dalam dalam bentuk kata-kata,
entah jelek entah bagus, namun inilah aku yang jujur dalam berfikir dan berkata.

Moga ada guna dan manfaatnya

Amin Amin Ya Robbal Alamin

Jumat, 28 Januari 2011

BARSESO MILENIUM



Tulisan ini pernah aku pasang di majalah Dinding Hidayah lirboyo tahun 2006

Deru knalpot yang memekakkan telinga terdengar semakin mendekat. Dari jauh, tampak iringan pemuda bermotor tertawa terbahak-bahak di antara raungan suara motor yang menyalak. Seakan tak memperdulikan keheningan malam yang telah menghinggapi kampung kecil itu, mereka dengan lantang berteriak-teriak menantang siapapun yang mereka temui. Namun, tak satu pun warga kampung yang berani mencegah, apalagi sekedar memberi peringatan. Orang-orang kampung lebih memilih mengelus dada seraya berdo’a semoga pemuda-pemuda itu cepat sadar.

Di antara berandalan tersebut ada seorang pemuda gagah. Posturnya tinggi besar, kulitnya hitam lebam. Gaya bicaranya tak beraturan. Tangan kananya memegang botol minuman keras. Sempoyongan ia berjalan mendekati pos jaga kampung yang seolah sudah beralih fungsi menjadi markas besar para pemuda berandalan itu. Dia menyandarkan badan lusuhnya pada dinding. Dia mengomel sendirian, tanpa makna. Tak lama, Aan (nama samaran) merebahkan tubuhnya. Beberepa menit, dia telah lelap dalam tidur.

Suara adzan subuh membahana, terdengar dari surau kampung sebelah. Meski suara muadzin tak begitu merdu, rupanya dapat membuyarkan tidur Aan. Ia segera bangun. Kemudian melangkahkan kaki keluar dari pos sekedar menghirup udara segar. Saat itulah, secara tidak sengaja Aan bertemu dengan dua bocah kecil berpeci, bersarung dan memeluk kitab suci di dada. Kedua bocah itu kaget melihat Aan. Tapi keburu Aan menyapa

“Mau kemana, kalian!”

“Ngaji, Cak !. Di mushola H. Latif” jawab anak-anak itu polos.

“Ya, sudah. Berangkat sana!“

“Terima kasih, Cak” jawab anak-anak itu lagi, sambil berlari.

Sepeninggal dua bocah kecil itu, kembali Aan rebahkan tubuhnya. Keceriaan anak-anak tadi membawanya kembali kepada masa-masa kecilnya dulu. Masa bahagia bersama dengan keluarga besarnya. Saat itu, semua menyayangi, mencintai dan merperlakukan Aan istimewa. Sehingga tak jarang banyak teman-teman sebayanya jadi iri. Aan kecil tumbuh dengan cepat. Otaknya tergolong jenius. Berbagai prestasi pernah Ia raih. Bahkan Aan dulu selalu menjadi bintang kelas disekolahnya.

Waktu terus beranjak. Aan yang dulu kecil kini telah dewasa. Badannya yang putih bersih dan rupawan, membuat semua orang simpati kepadanya.

Singkat cerita, akhirnya Aan dikirimkan orangtuanya ke sebuah pesantren elit di kotanya guna mempelajari ilmu-ilmu agama. Di sinilah kecerdasan Aan semakin tampak, hanya dalam tempo dua tahun Aan sudah bisa melahap semua pelajaran yang di ajarkan. Kemampuan otak yang di atas rata-rata membuat semua Ustadz di pesantrennya bersimpati dan sayang kepada Aan. Sang Kakek pun sangat mencintainya. Saking cintanya, tak jarang semua permintaan Aan dikabulkan oleh sang kakek. Hal itu semata-mata demi kebahagiaan sang cucu.

Namun, seiring berjalannya waktu, Aan yang dulu seorang santri, dicintai dan diharapkan ilmu agamanya, kini telah berubah jauh. Bahkan sangat jauh. Aan lebih sering berkumpul dengan anggota geng-nya ketimbang bermusyawarah dengan teman-teman remaja masjid. Aan lebih konsentrasi mendengarkan bisikan dan hasutan setan ketimbang nasehat-nasehat dari guru-guru ngajinya. Aan lebih senang menenggak minuman keras daripada berpuasa Ramadlan. Dan paling parah, waktu Aan lebih banyak digunakan mencuri barang-barang orang lain daripada beramal saleh. Ringkasnya, Aan yang dulu disenangi karena keluhuran budi pekertinya, kini lebih sering dicemooh karena perbuatan kotornya

“Aaaaaah..” Aan mendesah panjang, sepanjang harapannya yang telah buyar dan tak kunjung kembali. Aan tersadar dari lamunannya. Ia menunduk, menyesali mengapa semua bisa terjadi begitu cepat. Dia bingung, mengapa dia menjadi seperti ini.

Pernah ia coba untuk kabur dari komunitasnya itu. Tapi percuma. Sebab, tangan dan mulutnya tak bisa tenang bila sehari saja tak menyentuh minuman keras dan lintingan ganja. Dia kembali menundukkan kepala. Menatap bumi yang dipijaknya. Menyesal, menyesal dan terus menyesal tanpa usaha untuk bangkit dari keterpurukan.

*****

Jangan pernah menyangka kisah di atas hanyalah rekaan penulis. Tokoh Aan dalam kisah itu adalah benar-benar nyata dan hadir dalam kehidupan kita. Aan pernah menjadi bagian dari hidup kita. Aan adalah sahabat kita yang kini tengah terjerembab dalam lobang kesesatan.

Entah bagaimana awalnya, kisah ini berlalu begitu cepat, dulu Aan (bukan nama sebenarnya) adalah sosok santri ideal yang memiliki kelebihan dalam berbagai bidang, terutama Nahwu dan Fiqh. Selain berwawasan luas, dia juga diberi anugerah wajah yang rupawan. Walhasil tak jarang Aan sering menjadi obyek Gojlokan antara teman temannya. Tapi entahlah, secara tiba tiba Aan mengubah haluan hidupnya. Aan yang kukenal sekarang dulu bukanlah Aan yang dulu.

Sepintas, meskipun dalam setting berbeda, kisah Aan memiliki kemiripan dengan legenda Kyai Barseso. Barseso merupakan representasi dari seorang Ulama Besar, punya ribuan santri, yang kemudian menjadi kufur hanya karena bujuk rayu Setan dan kroni-kroninya.

Hikmah apa yang dapat kita ambil dari kisah di muka? Hikmahnya. Posisi kita sebagai duta agama ternyata bukanlah suatu jaminan pasti bahwa kita akan terhindar dari semua bujuk rayu Setan. Sebaliknya, hanya konsitensi dan istiqomah yang dapat menjadi tameng kuat bagi keabadian iman kita. Semoga kita senantiasa dapat menjaga diri dari hal-hal yang dibenci Allah Swt. Wallahu a’lam

(TNI / Arif Noer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar